Jumat, 20 Maret 2009

SEJARAH SINGKAT PERJALANAN TEAM HIJAU PSS MENUJU SEPAKBOLA NASIONAL

SUDAH lama dan berpanjang lebar orang membicarakan bagaimana sebuah permainan sepakbola bisa baik, berkualitas tinggi. Bahkan, dalam konteks nasional, Indonesia pernah kebingungan mencari jawaban itu. Berbagai pelatih atau instruktur didatangkan dari Brasil, Jerman, Belanda dan sebagainya. Namun, toh sepakbola Indonesia tak pernah memuaskan, bahkan tekesan mengalami kemunduran.

Dari pengalaman upaya Tim Nasional Indonesia untuk membangun sebuah permainan sepakbola yang baik itu, sebenarnya ada kesimpulan yang bisa diambil. Kesimpulan itu adalah, selama ini Indonesia hanya mencoba mengkarbit kemampuan sepakbolanya dengan mendatangkan pelatih berkelas dari luar negeri. Indonesia tidak pernah membangun kultur atau budaya sepakbola secara baik. Dengan kata lain, upaya PSSI selama ini lebih membuat produk instan daripada membangun kultur dimaksud.

Pelatih berkualitas, teori dan teknik sebenarnya bukan barang sulit untuk dimiliki. Elemen-elemen itu ada dalam textbook, atau bahkan sudah di luar kepala seiring dengan meluasnya popularitas sepakbola. Indonesia termasuk gudangnya komentator. Bahkan, seorang abang becak pun bisa berbicara tentang sepakbola secara teoritis dan analitis.

Sebab itu, seperti halnya sebuah kehidupan, sepakbola membutuhkan kultur. Artinya, sepakbola harus menjadi kebiasaan atau tradisi yang melibatkan daya upaya, hasrat jiwa, interaksi berbagai unsur dan berproses secara wajar dan jujur, bertahap dan hidup.

Untuk membangun kultur sepakbola itu, jawaban terbaik adalah membangun kompetisi yang baik pula. Lewat kompetisi, tradisi sepakbola lengkap dengan segala elemennya akan berproses dan berkembang ke arah yang lebih baik. Akan lebih baik lagi kompetisi itu terbangun sejak pelakunya masih kecil, tanpa rekayasa dan manipulasi. Pada gilirannya, tradisi itu akan melahirkan sebuah permainan indah dan berkualitas, serta memiliki bentuk dan ciri khasnya tersendiri. Itu sebabnya, kenapa sepakbola Brasil, Belanda, Inggris, Jerman dan Italia tidak hanya berkualitas, tapi juga punya gaya khasnya sendiri- sendiri.

Dalam konteks kecil dan lokal, Persatuan Sepakbola Sleman (PSS), sadar atau tidak, sebenarnya telah membangun sebuah kultur sepakbolanya melalui kompetisi lokal yang rutin, disiplin dan bergairah. Berdiri tahun 1976, PSS termasuk perserikatan yang muda jika dibandingkan dengan PSIM Yogyakarta, Persis Solo, Persib Bandung, Persebaya Surabaya, PSM Makassar, PSMS Medan, Persija dan lainnya.

Namun, meski muda, PSS mampu membangun kompetisi sepakbola secara disiplin, rutin dan ketat sejak pertengahan tahun 1980-an. Kompetisi itu tak bernah terhenti sampai saat ini. Sebuah konsistensi yang luar biasa. Bahkan, kompetisi lokal PSS kini dinilai terbaik dan paling konsisten di Indonesia. Apalagi, kompetisi yang dijalankan melibatkan semua divisi, baik divisi utama, divisi I maupun divisi II. Bahkan, pernah PSS juga menggelar kompetisi divisi IIA.

Maka, tak pelak lagi, PSS kemudian memiliki sebuah kultur sepakbola yang baik. Minimal, di Sleman telah terbangun sebuah tradisi sepakbola yang meluas dan mengakar dari segala kelas. Pada gilirannya, tak menutup kemungkinan jika suatu saat PSS mampu menyuguhkan permainan fenomenal dan khas.

Ini prestasi luar biasa bagi sebuah kota kecil yang berada di bawah bayang-bayang Yogyakarta ini. Di Sleman tak ada sponsor besar, atau perusahaan-perusahaan raksasa yang bisa dimanfaatkan donasinya untuk mengembangkan sepakbola. Kompetisi itu lebih berawal dari kecintaan sepakbola, tekad, hasrat, motivasi dan kemauan yang tinggi. Semangat seluruh unsur #penonton, pemain, pelatih, pengurus dan pembina #terlihat begitu tinggi.

Meski belum optimal, PSS akhirnya menuai hasil dari tradisi sepakbola mereka. Setidaknya, PSS sudah melahirkan pemain nasional Seto Nurdiantoro. Sebuah prestasi langka bagi DIY. Terakhir, pemain nasional dari DIY adalah kiper Siswadi Gancis. Itupun ia menjadi cadangan Hermansyah. Yang lebih memuaskan, pada kompetisi tahun 1999/2000, PSS berhasil masuk jajaran elit Divisi Utama Liga Indonesia (LI).

Perjalanan PSS yang membanggakan itu bukan hal yang mudah. Meski lambat, perjalanan itu terlihat mantap dan meyakinkan. Sebelumnya, pada kompetisi tahun 1990-an, PSS masih berada di Divisi II. Tapi, secara perlahan PSS bergerak dengan mantap. Pada kompetisi tahun 1995/96, tim ini berhasil masuk Divisi I, setelah melewati perjuangan berat di kompetisi-kompetisi sebelumnya.

Dengan kata lain, PSS mengorbit di Divisi Utama LI bukan karena karbitan. Ia melewatinya dengan proses panjang. Kasus PSS menjadi contoh betapa sebuah kulturisasi sepakbola akan lebih menghasilkan prestasi yang mantap daripada produk instan yang mengandalkan ketebalan duit.

Dan memang benar, setelah bertanding di kompetisi Divisi Utama, PSS bukanlah pendatang baru yang mudah dijadikan bulan- bulanan oleh tim-tim elit. Padahal, di Divisi Utama, PSS tetap menyertakan pemain produk kompetisi lokalnya. Mereka adalah M Iksan, Slamet Riyadi, Anshori, Fajar Listiantoro dan M Muslih. Bahkan, M Ikhsan, Slamet Riyadi dan Anshori merupakan pemain berpengaruh dalam tim.

Pada penampilan perdananya, PSS langsung mengagetkan insan sepakbola Indonesia. Di luar dugaan, PSS menundukkan tim elit bergelimang uang, Pelita Solo 2-1.

Bahkan, Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono sendiri yang saat itu berada di Brunei Darussalam dalam rangka promosi wisata juga kaget. Kepada Bupati Sleman Ibnu Subianto yang mengikutinya, Sri Sultan mengatakan, "Ing atase cah Sleman sing ireng-ireng biso ngalahke Pelita." Artinya, anak-anak Sleman yang hitam-hitam itu (analog orang desa) kok bisa mengalahkan tim elit Pelita Solo.

Saat itu, Ibnu Subianto menjawab, "Biar hitam nggak apa- apa tho pak, karena bupatinya juga hitam." Ini sebuah gambaran betapa prestasi PSS memang mengagetkan. Bahkan, gubernur sendiri kaget oleh prestasi anak-anaknya. Akan lebih mengagetkan lagi, jika Sri Sultan tahu proses pertandingan itu. Sebelum menang, PSS sempat ketinggalan 0-1 lebih dulu. Hasil ini menunjukkan betapa permainan PSS memiliki kemampuan dan semangat tinggi, sehingga tak minder oleh tim elit dan tak putus asa hanya karena ketinggalan. Berikutnya, tim cukup tua Gelora Dewata menjadi korbannya. Bahkan, di klasemen sementara, PSS sempat bertengger di urutan pertama.

Ketika tampil di kandang lawan, Malang United dan Barito Putra, PSS juga tak bermain cengeng. Bahkan, meski akhirnya kalah, PSS membuat tuan rumah selalu was-was. Sehingga, kekalahan itu tetap menjadi catatan mengesankan. Maka, tak heran debut PSS itu kemudian menjadi perhatian banyak orang. Hanya dalam sekejap, PSS sudah menjadi tim yang ditakuti, meski tanpa bintang.

Pembinaan sepakbola ala PSS ini akan lebih tahan banting. Sebab itu, terlalu berlebihan jika menilai PSS bakal numpang lewat di Divisi Utama.

Dengan memiliki tradisi sepakbola yang mantap dan mapan, tak menutup kemungkinan jika PSS akan memiliki kualitas sepakbola yang tinggi. Bahkan, bukan hal mustahil jika suatu saat PSS bisa juara LI.

Apa yang terjadi di Sleman sebenarnya mirip dengan yang terjadi di Bandung dengan Persib-nya dan di Surabaya dengan Persebaya-nya. Di kedua kota itu, kompetisi lokal juga berjalan dengan baik, bahkan sepakbola antarkampung (tarkam) pun kelewat banyak. Maka tak heran jika sepakbola di Bandung dan Surabaya sangat tangguh dan memiliki ciri khas tersendiri. Oleh karena itu, jika tradisi sepakbola di Sleman bisa dipertahankan bahkan dikembangkan, tak menutup kemungkinan PSS akan memiliki nama besar seperti halnya Persib atau Persebaya. Semoga!
Liga Indonesia 2008
4
-
0

Stadion Maguwoharjo
Sleman
13 Mar 2009, 15:30 WIB
VS
NEXT MATCH!!

Stadion Mandala Krida Yogyakarta
12 Apr 2009
15:30 WIB



Tahukah Anda rekor gol memasukan dan kemasukan yang telah dicatat oleh PSS Sleman.

[ Lihat Jawaban ]
Latest
View All
Add Yours

pss

gemboel (2009-03-21 09:00:37)

Pie dap kabare?? ayo dap pss di gawe menang...kalahke psim jancuk&soloCUK... oke dap salam dari slemania sentolo
Jadwal Pertandingan
Klasemen
12 04/09
T
PSIM Yogyakarta
16 04/09
T
Persiba Bantul
28 04/09
T
Persebaya Surabaya
02 05/09
T
Perseman Manokwari

Jadwal Selengkapnya


Co



Sejarah Kota Jogja

 


Berdirinya Kota Yogyakarta berawal dari adanya Perjanjian Gianti pada Tanggal 13 Februari 1755 yang ditandatangani Kompeni Belanda di bawah tanda tangan Gubernur Nicholas Hartingh atas nama Gubernur Jendral Jacob Mossel. Isi Perjanjian Gianti : Negara Mataram dibagi dua : Setengah masih menjadi Hak Kerajaan Surakarta, setengah lagi menjadi Hak Pangeran Mangkubumi. Dalam perjanjian itu pula Pengeran Mangkubumi diakui menjadi Raja atas setengah daerah Pedalaman Kerajaan Jawa dengan Gelar Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Alega Abdul Rachman Sayidin Panatagama Khalifatullah.

Adapun daerah-daerah yang menjadi kekuasaannya adalah Mataram (Yogyakarta), Pojong, Sukowati, Bagelen, Kedu, Bumigede dan ditambah daerah mancanegara yaitu; Madiun, Magetan, Cirebon, Separuh Pacitan, Kartosuro, Kalangbret, Tulungagung, Mojokerto, Bojonegoro, Ngawen, Sela, Kuwu, Wonosari, Grobogan.


Setelah selesai Perjanjian Pembagian Daerah itu, Pengeran Mangkubumi yang bergelar Sultan Hamengku Buwono I segera menetapkan bahwa Daerah Mataram yang ada di dalam kekuasaannya itu diberi nama Ngayogyakarta Hadiningrat dan beribukota di Ngayogyakarta (Yogyakarta). Ketetapan ini diumumkan pada tanggal 13 Maret 1755.

Tempat yang dipilih menjadi ibukota dan pusat pemerintahan ini ialah Hutan yang disebut Beringin, dimana telah ada sebuah desa kecil bernama Pachetokan, sedang disana terdapat suatu pesanggrahan dinamai Garjitowati, yang dibuat oleh Susuhunan Paku Buwono II dulu dan namanya kemudian diubah menjadi Ayodya. Setelah penetapan tersebut diatas diumumkan, Sultan Hamengku Buwono segera memerintahkan kepada rakyat membabad hutan tadi untuk didirikan Kraton.

Sebelum Kraton itu jadi, Sultan Hamengku Buwono I berkenan menempati pasanggrahan Ambarketawang daerah Gamping, yang tengah dikerjakan juga. Menempatinya pesanggrahan tersebut resminya pada tanggal 9 Oktober 1755. Dari tempat inilah beliau selalu mengawasi dan mengatur pembangunan kraton yang sedang dikerjakan.

Setahun kemudian Sultan Hamengku Buwono I berkenan memasuki Istana Baru sebagai peresmiannya. Dengan demikian berdirilah Kota Yogyakarta atau dengan nama utuhnya ialah Negari Ngayogyakarta Hadiningrat. Pesanggrahan Ambarketawang ditinggalkan oleh Sultan Hamengku Buwono untuk berpindah menetap di Kraton yang baru. Peresmian mana terjadi Tanggal 7 Oktober 1756

Kota Yogyakarta dibangun pada tahun 1755, bersamaan dengan dibangunnya Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I di Hutan Beringin, suatu kawasan diantara sungai Winongo dan sungai Code dimana lokasi tersebut nampak strategi menurut segi pertahanan keamanan pada waktu itu
Sesudah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII menerima piagam pengangkatan menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Propinsi DIY dari Presiden RI, selanjutnya pada tanggal 5 September 1945 beliau mengeluarkan amanat yang menyatakan bahwa daerah Kesultanan dan daerah Pakualaman merupakan Daerah Istimewa yang menjadi bagian dari Republik Indonesia menurut pasal 18 UUD 1945. Dan pada tanggal 30 Oktober 1945, beliau mengeluarkan amanat kedua yang menyatakan bahwa pelaksanaan Pemerintahan di Daerah Istimewa Yogyakarta akan dilakukan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII bersama-sama Badan Pekerja Komite Nasional

Meskipun Kota Yogyakarta baik yang menjadi bagian dari Kesultanan maupun yang menjadi bagian dari Pakualaman telah dapat membentuk suatu DPR Kota dan Dewan Pemerintahan Kota yang dipimpin oleh kedua Bupati Kota Kasultanan dan Pakualaman, tetapi Kota Yogyakarta belum menjadi Kota Praja atau Kota Otonom, sebab kekuasaan otonomi yang meliputi berbagai bidang pemerintahan massih tetap berada di tangan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta.

Kota Yogyakarta yang meliputi daerah Kasultanan dan Pakualaman baru menjadi Kota Praja atau Kota Otonomi dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1947, dalam pasal I menyatakan bahwa Kabupaten Kota Yogyakarta yang meliputi wilayah Kasultanan dan Pakualaman serta beberapa daerah dari Kabupaten Bantul yang sekarang menjadi Kecamatan Kotagede dan Umbulharjo ditetapkan sebagai daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Daerah tersebut dinamakan Haminte Kota Yogyakaarta.
Untuk melaksanakan otonomi tersebut Walikota pertama yang dijabat oleh Ir.Moh Enoh mengalami kesulitan karena wilayah tersebut masih merupakan bagian dari Daerah Istimewa Yogyakarta dan statusnya belum dilepas. Hal itu semakin nyata dengan adanya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, di mana Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai Tingkat I dan Kotapraja Yogyakarta sebagai Tingkat II yang menjadi bagian Daerah Istimewa Yogyakarta.

Selanjutnya Walikota kedua dijabat oleh Mr.Soedarisman Poerwokusumo yang kedudukannya juga sebagai Badan Pemerintah Harian serta merangkap menjadi Pimpinan Legislatif yang pada waktu itu bernama DPR-GR dengan anggota 25 orang. DPRD Kota Yogyakarta baru dibentuk pada tanggal 5 Mei 1958 dengan anggota 20 orang sebagai hasil Pemilu 1955.
Dengan kembali ke UUD 1945 melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957 diganti dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, tugas Kepala Daerah dan DPRD dipisahkan dan dibentuk Wakil Kepala Daerah dan badan Pemerintah Harian serta sebutan Kota Praja diganti Kotamadya Yogyakarta.

Atas dasar Tap MPRS Nomor XXI/MPRS/1966 dikeluarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. Berdasarkan Undang-undang tersebut, DIY merupakan Propinsi dan juga Daerah Tingkat I yang dipimpin oleh Kepala Daerah dengan sebutan Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta dan Wakil Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta yang tidak terikat oleh ketentuan masa jabatan, syarat dan cara pengankatan bagi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah lainnya, khususnya bagi beliiau Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII. Sedangkan Kotamadya Yogyakarta merupakan daerah Tingkat II yang dipimpin oleh Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II dimana terikat oleh ketentuan masa jabatan, syarat dan cara pengangkatan bagi kepala Daerah Tingkat II seperti yang lain.

Seiring dengan bergulirnya era reformasi, tuntutan untuk menyelenggarakan pemerintahan di daerah secara otonom semakin mengemuka, maka keluarlah Undang-undang No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur kewenangan Daerah menyelenggarakan otonomi daerah secara luas,nyata dan bertanggung jawab. Sesuai UU ini maka sebutan untuk Kotamadya Dati II Yogyakarta diubah menjadi Kota Yogyakarta sedangkan untuk pemerintahannya disebut denan Pemerintahan Kota Yogyakarta dengan Walikota Yogyakarta sebagai Kepala Daerahnya.

Sumber: jogja.go.id

This entry was posted on Friday, October 7th, 2005 at 2:42 pm and is

Jumat, 13 Maret 2009

Lima Abad Kraton Kanoman



Reporter : AHAMD BAEHAQI
Kameramen: NYOMAN IFROZIN
Editor : WAHYU INDRARUKMANA


Segmen I

indosiar.com - Perayaan hari kelahiran Nabi Muhammad di setiap daerah di indonesia berbeda - beda sesuai dengan tradisi. Di Kraton Kanoman - Cirebon - Jawa Barat, ada tradisi unik merayakan mauled, konon sejak lima abad lalu, ketika Sunan Gunung Jati menyebarkan ajaran agama Islam.

Perayaan ini juga menjadi perlambang kebesaraan Kraton ini di Masa lalu. Kebesaran Islam di Jawa Barat tidak lepas dari Cirebon - kota yang berada di pesisir pantai utara. Kebesaran Islam Masih terasa ketika kita meMasuki kota yang berpenduduk sekitar tiga Ratus jiwa ini.

Sunan Gunung jadilah orang yang bertanggung Jawab menyebarkan agam Islam di Jawa Barat, sehingga berbicara tentang Cirebon tidak akan lepas dari sosok dia. Setiap hari ribuan orang berziarah ke makamnya yang berusia enam abad. Mereka yakin, ruh-nya tetap memberikan berkah.

Sunan Gunung Jati juga meninggalkan jejak -nya yang hingga kini Masih berdiri tegak, jejak itu bernama Kraton Kanoman. Barangkali sebagian besar orang tidak menyadari, bahwa bangunan ini dahulu sangat berpengaruh dan berkuasa.

Namun jaman telah mengubah Kraton yang kini tenggelam dalam hiruk pikuk kota dan pasar yang semrawut. Di Kraton ini tinggal sultan ke dua belas yang bernama raja Muhammad Emiruddin berserta keluarga dan abdi dalem, atau pembantu setia.

Sang Ratu, bernama Arimbi Nurtina, istri dari raja Muhammad Emiruddin menerima kami dengan baik. Ia sangat dihormati, karena Masih keturunan Sunan Gunung Jati.

Kraton adalah komplek luas, yang terdiri dua puluh tujuh bangunan kuno. salah satunya saung yang bernama bangsal witana yang merupakan cikal bakal Kraton yang luas hampri lima kali lapangan sepak bola ini.

Di bangsal ini, dua anak raja Pajajaran, Prabu Siliwangi Ratu Mas Rarasantang dan pangeran Cakra Buwana belajar agama Islam. Dari Ratu Mas Rarasantang ini lahirlah Sunan Gunung Jati yang kemudian membangun Kraton dan menjadikannya pusat penyebaran agama Islam di Jawa Barat.

Sebagian barang - barang yang digunakan sang Sunan Masih ada, seperti dua kereta bernama Paksi Naga Liman dan Jempana yang Masih terawat baik dan tersimpan di museum. Bentuknya burok, yakni hewan yang dikendarai Nabi Muhammad ketika ia Isra Mi'raj.

Tidak jauh dari kereta, terdapat bangsal Jinem, atau Pendopo untuk Menerima tamu, penobatan sultan dan pemberian restu sebuah acara seperti Maulid Nabi. Dan dibagian tengah Kraton terdapat komplek bangunan bangunan bernama Siti Hinggil.

Ada tiga pintu Masuk kedalam bangunan ini. Di sinilah raja biasa menyaksikan acara-acara tertentu yang resmi. Dan pementasan gamelan pusaka dilakukan di tempat ini atau bangsal selatan, seperti pada perayaan Maulid nanti.

Maulid memang menjadi hari istimewa, karena banyak bagian - bagian di Kraton yang tertutup rapat, terbuka untuk umum. seperti pintu besar yang bernama Lawang Siblawong. Dan dalam ritual Panjang Jimat nanti, pintu ini akan menjadi jalan menuju keselamatan, yakni Masjid Agung Kraton Kanoman.

Segmen II

Dua hari menjelang perayaan Maulid, keluarga keraton Kanoman semakin sibuk. Maulid adalah hajatan besar setiap tahun yang melibatkan banyak orang, termasuk masyarakat umum di luar keratin. Sehingga makanan pun disediakan dalam jumlah besar.

Mereka memotong dua ekor kerbau. Dagingnya untuk hidangan para tamu dan bagian kepala, mereka tanam di dua penjuru gerbang keratin. Setiap Maulid, keluarga dan kerabat Kraton juga harus mencuci benda - benda pusaka yang usianya ratusan tahun.

Benda-benda ini dihadiahkan dinasti Ming kepada permasuri kesultanan Cirebon sekitar abad ke lima belas. Sebagian adalah alat kecantikan untuk wanita yang bentuknya mirip jantung dan hati.

Kaum wanita yang boleh mencucinya, itupun hanya mereka yang sedang tidak datang bulan. Kaum pria, tugas mengambil air dari sumur yang jumlahnya ada tujuh di sekitar Kraton.

Mereka menghormati benda-benda yang usianya lebih tua dari mereka ini. Sehingga tidak satupun dari mereka ada yang bercakap-cakap atau bercanda. Maulid benar-benar membuat Kraton Cirebon lebih hidup, baik siang maupun malam. Ini sudah berlangsung sejak sebulan yang lalu.

Mereka memasak dua jenis makanan. Untuk ritual dan warga biasa. Juru masak ritual menggunakan sepuluh wajan besar untuk memasak nasi kuning. Mereka memasaknya dengan hati - hati dan sabar, karena nasi ini adalah lambang berkah.

Sebaliknya, kelompok pemasak ini memasak makanan yang akan dibagikan kepada warga. Ribuan warga berjubel memenuhi keraton ini. Mereka berdatangan dari berbagai daerah di Jawa dan wilayah lain di Indonesia. Sebagian ada yang sudah berhari - hari di dengan bekal seadanya.

Mereka masih mengormati keraton Cirebon. Karena Sunan Gunung Jati salah satu Wali Songo, menyebarkan agama Islam di Jawa dari keraton ini.


Sebagian lagi percaya dengan mitos - mitos dan berharap berkah dari Kraton. Seperti mandi di sumur ini misalnya. Air -nya mereka percaya akan memberikan berkah.

Sebagian datang bersama keluarga. Seperti ibu ini yang datang dari Kroya - Jakarta bersama keluarganya. Ia ingin menjadi TKW..., jadi tidak ada salahnya mandi di tempat ini.

Malam harinya..., suara gamelan mengalun dan mereka memainkannya hanya lima kali dalam semalam. Ketika subuh hingga waktunya sholat isa. Kaum wanita - nya mempersiapkan mungkus Shalawat, bungkusan daun pisang yang berisi uang logam dan diikat tali bamboo.

Bungkusan ini akan dibagikan kepada masyarakat ketika perayaan maulid tiba. Siapa yang mendapatkan paling banyak, akan banyak pula berkahnya. Esoknya dimulai Panjang Jimat, yakni arak-arakan yang membawa semua benda pusaka. Prosesi inilah yang menjadi inti perayaan Maulid.

Segmen III

Suasana di keraton seolah berubah menjadi pasar rakyat. Namun tetapi menarik, melihat bagaimana warga dan kekuasaan yang dahulunya berpengaruh melebur. Ada gula ..ada semut, pepatah yang tepat untuk para pedagang yang menggelar lapaknya di sini.

Termasuk pedagang nasi jamblang, makanan khas Cirebon yang biasa membuka tenda di pinggiran jalan. Tidak berlebihan mengatakan bahwa rakyat sebagian besar masih menghormati keraton Kanoman.

Tradisi Maulid ini menjadi kesempatan emas untuk bertemu dengan raja kharismatik ini, yakni sultan kedua belas, Raja Muhammad Emiruddin, yang naik tahta 2003.

Ia memimpin keraton yang pada abad kelima belas sangat disegani dan berpengaruh di Jawa Barat. Dari rakyat untuk sultan. Begitu sebaliknya, adalah bentuk kepedulian sebagian rakyat Cirebon. Kepedulian itu justru yang membuat Keraton Kanoman Cirebon hingga kini masih tetap bertahan.

Kaum wanita sibuk membuat wewangian dari aneka macam bunga yang harum yang akan mereka taburkan di setiap piring besar saat arak-arakan panjang jimat. Sementara keluarga dan abdi dalem akan bersiap - siap membawa benda pusaka dan makanan ke sultan untuk meminta restu. Menarik..., peringatan ini seolah menghadirkan kembali kejayaan keraton ini pada masa lampau.

Sultan kemudian memberikan restu untuk memulai prosesi panjang jimat. Panjang jimat merupakan puncak peringatan Maulid nabi. Perpaduan Islam dan tradisi setempat sangat terasa.

Prosesi bergerak dari keraton menuju masjid agung peninggalan Sunan Gunung Jati lima abad yang lalu dan berlangsung dengan khidmat. Semua warga berhenti melakukan kegiatannya. Prosesi berakhir di tempat ini.

Patih dan semua sesepuh membacakan kitab barjanji yang berisi sejarah nabi agar masyarakat mau mencontoh kebajikan yang dilakukan nabi semasa hidupnya. Masyarakat diluar setia menunggunya hingga larut malam dengan harapan kebagian makanan sesaji atau uang kepingan.

Peringatan Maulid berakhir. Entah sudah yang keberapa kalinya. Keraton Kanoman sudah menggelar tradisi ini semenjak Sunan pertama kali menyebarkan ajaran Islam di Jawa Barat sekitar lima ratus tahun yang lalu.

Tradisi ini menjadi saksi dari sejarah yang panjang sebuah kerajaan disegani dan sangat berpengaruh pada waktu itu. Oleh karena itu keraton harus tetap bertahan, kendati tidak mudah di jaman yang berubah begitu cepat.(Her)


Grebeg Kraton Jogja

Sejarah
Sejarah grebeg tidak dapat dilepaskan dengan sejarah Wali Sanga. Salah satu metode penyebaran agama islam pada waktu itu adalah dengan pendekatan budaya. Metode ini dipakai karena pada saat itu budaya dan seni bekembang dengan baik. Melalui metode ini, islam disebarkan dengan memasukan berbagai ajaran islam dengan asimilasi dan akulturasi. salah satu wali yang sangat berpengaruh saat itu yaitu Sunan Kalijaga. Wali ini menyebarkan islam dengan cara mengumpulkan masyarakat dan membunyikan gamelan yang ditaruh di halaman Masjid Besar.

Gunungan Grebeg

Setelah masyarakat berduyun-duyun menontonnya, Sunan Kalijaga berdakwah untuk mengemukakan keutamaan ajaran agama Islam. Di sinilah lantas muncul istilah sekaten. Sekaten berasal dari bahasa Arab Syahadatain yang mengandung dua makna kalimat. Pertama, bersaksi bahwa tak ada Tuhan yang wajib disembah kecuali Allah. Kedua, bersaksi bahwa Nabi Muhammad SAW adalah utusan Allah. Karena susah mengucapkan, akhirnya kata itu menjadi sekaten. Tradisi penyelenggaraan perayaan sekaten itu lantas berlanjut pada masa Kerajaan Mataram pertama di bawah pemerintahan Panembahan Senopati. Dan kini sekaten menjadi suatu tradisi di Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Hal tersebut sesuai dengan salah satu kewajiban seorang Sultan yaitu Sayidin Panata Gama, yaitu pemimpin agama yang berkewajiban menyebarkan agama islam.Gamelan yang dibunyikan untuk menarik perhatian itu, dalam perayaan sekaten di Yogyakarta ada dua perangkat, yakni Kanjeng Kiai Gunturmadu dan Kangjeng Kiai Nogowilogo. Dua perangkat gamelan itu berada di halaman Masjid Gede Kraton Yogyakarta. Kedua gamelan ini ditarik kembali ke kraton ketika malam sebelum upacara grebeg dimulai pada keesokan harinya.

Komunikasi Raja-Rakyat (Manunggaling Kawulo -Gusti)

Prosesi rebutan gunungan atau yang dikenal sebagai grebeg ini diawali dengan arak-arakan prajurit kraton mengelilingi Kraton Yogyakarta. Setelah itu, barulah gunungan dikeluarkan untuk dibawa ke Masjid Gede yang terletak di alun-alun utara. Prosesi iring-iringan ini didahului oleh prajurit Bugis yang lantas disusul para abdi dalem sipat bupati, dan baru Kagungan Dalem Pareden (gunungan) yang terdiri dari enam gunungan. Keenam gunungan itu meliputi 2 buah gunungan lanang, 1 gunungan wadon, 1 gunungan gepak, 1 gunungan darat, serta 1 gunungan pawuhan. Semua gunungan itu dipenuhi oleh hasil pertanian seperti kacang panjang dan jagung. Dalam prosesi arak-arakan ini salah satu gunungan lanang dibawa menuju Paku Alaman dan kemudian dibawa ke lapangan Sewandanan untuk diperebutkan pula. Ketika dibawa ke Paku Alaman, gunungan lanang ini dikawal lima ekor gajah. Rebutan gunungan atau upacara grebeg ini diartikan merupakan simbol komunikasi kultural antara raja dan rakyatnya. Bahwa raja bisa sangat dekat dan memperhatikan rakyatnya (kawulo-nya). Ini ditandai dengan sang raja memberikan sejumlah hasil pertanian untuk rakyatnya. Sebetulnya, dalam tradisi perayaan sekaten ini tak hanya gunungan dan udhik-udhik yang sarat dengan berkah. Namun muncul pula ndok abang (telur yang diwarnai merah) serta kinang. Telur merah ini dipercaya sebagai penolak bala, sedangkan kinang jika dikunyah pas ketika gamelan berbunyi, dipercaya mampu membuat orang awet muda.

Grebeg di Kraton Yogyakarta dilaksanakan selama 1 tahun jawa menjadi tiga yaitu: Grebeg Mulud pada 12 Mulud bertepatan dengan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, Grebeg Syawal yang diselenggarakan pada tanggal 1 bulan Syawal sebagai ungkapan terima kasih masyarakat kepada Tuhan, dengan telah berhasil diselesaikannya ibadah puasa selama satu bulan penuh dibulan Suci Ramadhan, dan Grebeg Besar yang diselenggarakan pada tanggal 10 bulan Besar, berkaitan dengan peringatan Hari Raya Qurban - Idhul Adha. (nug: dari berbagaiu sumber)

Rabu, 11 Maret 2009

Rabu, 04 Maret 2009

Saparan Bekakak Gamping

Saparan Bekakak Gamping

Ambarketawang, Gamping, Sleman INDONESIA

Upacara bekakak di Gunung Gamping. Upacara bekakak disebut juga Saparan. Disebut saparan sebab pelaksanaan upacara tadi harus jatuh atau berkaitan dengan bulan sapar. Upacara ini diadakan atas perintah P. Mangkubumi. Mengenai kata saparan berasal dari kata sapar dan berakhiran an. Kata sapar identik dengan ucapan Arab Syafar yang berarti bulan Arab yang kedua. Jadi Saparan ialah upacara selamatan yang diadakan disetiap bulan Sapar.

Saparan Gamping disebut juga Saparan Bekakak. Bekakak berarti korban penyembelihan hewan atau manusia. Bekakak pada saparan ini hanya tiruan manusia saja, berujud boneka pengantin dengan posisi duduk bersila yang terbuat dari tepung ketan.

Pelaksanaan upacara� saparan gamping tersebut diperinci dalam beberapa tahap yaitu:
- tahap midodareni bekakak
- tahap kirab
- tahap �Nyembelih� pengantin bekakak
- tahap sugengan Ageng.

Penyelenggaraan upacara saparan Gamping bertujuan untuk menghormati arwah (roh halus) Kiai dan Nyai Wirosuto sekeluarga. Kiai Wirosuto adalah abdi dalem penangsong (hamba yang memayungi) Sri Sultan Hamengku Buwana I pembawa payung kebesaran setiap Sri Sultan Hamengku Buwana I berada dan tidak ikut pindah waktu dari keraton (pesanggrahan) Ambarketawang ke keraton yang baru. Bersama keluarganya ia tetap bertempat tinggal di Gamping. Dan dianggap sebagai cikal bakal penduduk Gamping.

Waktu penyelenggaraan upacara Saparan Gamping telah ditetapkan, ialah setiap hari Jumat dalam bulan sapar antara tanggal 10 � 20 pada pukul 14.00 (kirab temanten bekakak). Penyembelihan bekakak dilakukan pada pukul 16.00.

Tempat penyelenggaraan upacara disesuaikan dengan pelaksanaan upacara. Persiapan penyelenggaraan upacara dibagi dalam dua macam yaitu saparan bekakak dan sugengan ageng. Persiapan untuk saparan bekakak terutama pembuatan bekakak dari tepung ketan dan membuat juruh, yang memakan waktu �8 jam. Pada saat pembuatan tepung diiringi gejong lesung atau kothekan yang memiliki bermacam-macam irama antara lain, kebogiro, thong-thongsot, dhengthek, wayangan, kutut manggung dan lain-lain.

Apabila penumbukan beras telah selesai, kemudian dilakukan pembuatan bekakak, gendruwo, kembang mayang, dan sajen-sajen, di satu tempat yaitu di rumah Bapak Roesman (panitia). Bentuk bekakak laki-laki dan perempuan dengan bentuk pengantin pria dan wanita pada umumnya dua pasang pengantin bekakak dengan sepasang bergaya Solo, dan sepasang bergaya Yogyakarta. Adapun pengantin laki-laki yang bergaya Solo dihias dengan ikat kepala ahestar berhiaskan bulu-bulu, leher berkalung selendang merah, dan kalung sungsun berkain bangun tulak, sabuk biru, memakai slepe. Mengenakan keris beruntaikan bunga melati, dan kelat bau. Sedangkan yang wanita memakai kemben berwarna biru, berkalung selendang merah dan kalung sungsun. Wajah dipaes, gelung diberi bunga-bunga dan mentul, di bahu diberi kelat bahu dan memakai subang.

Adapun pengantin laki-laki yang bergaya Yogyakarta, dihias dengan penutup kepala kuluk berwarna merah, berkalung selendang (sluier) biru dan kalung sungsun, sabuk biru dengan slepe, kain lereng, berkelat bahu dan bersumping, kemben hijau, kalung selendang biru (bangu tulak). Kekhususan yang tidak dapat dilanggar sampai saat ini, yaitu pelaku yang menyiapkan bahan mentahnya tetap para wanita, sedang yang mengerjakan pembuatan bekakak adalah para pria.

Sesaji upacara bekakak dibagi menjadi 3 kelompok. Dua kelompok untuk dua jali yang masing-masing diletakkan bersama-sama dengan pengantin bekakak. Satu kelompok lagi diletakkan di dalam jodhang sebagai rangkaian pelengkap sesaji upacara. Macam-macam sesajen yang diletakkan bersama-sama pengantin bekakak antara lain nasi gurih (wuduk) ditempatkan dalam pengaron kecil: nasi liwet ditempatkan dalam kendhil kecil beserta rangkaiannya daun dhadhap, daun turi, daun kara yang direbus, telur mentah dan sambal gepeng: tumpeng urubing dhamar, kelak kencana, pecel pitik, jangan menir, urip-uripan lele, rindang antep, ayam panggang, ayam lembaran, wedang kopi pahit, wedang kopi manis, jenewer, rokok/cerutu, rujak degan, rujak dheplok, arang-arang kemanis, padi, tebu, pedupaan, candu (impling), nangka sabrang, gecok mentah, ulam mripat, ulam jerohan, gereh mentah.

Sesaji itu ditempatkan dalam sudhi, gelas, kemudian ditaruh di atas jodhang antara lain sekul wajar (nasi ambeng) dengan lauk pauk: sambel goreng waluh, tumis buncis, rempeyek, tempe garing, bergedel, entho-entho, dan sebagainya, sekul galang lutut, sekul galang biasa, tempe rombyong yang ditaruh dalam cething bambu, tumpeng megana, sanggan (pisang raja setangkep), sirih sepelengkap, jenang-jenangan, rasulan (nasi gurih), ingkung ayam, kolak, apem, randha kemul, roti kaleng, jadah bakar, emping, klepon (golong enten-enten), tukon pasar, sekar konyoh, kemenyan, jlupak baru, ayam hidup, kelapa, sajen-sajen tadi ditempatkan dalam sudhi lalu semuanya diletakkan dalam lima ancak, dua ancak diikutsertakan dalam jali dibagikan kepada mereka yang membuat kembang mayang, bekakak dan yang menjadikan tepung (ngglepung) sementara itu disiapkan pula burung merpati dalam sangkar.

Midodareni Bekakak: Meskipun bekakak ini, berujud pengantin tiruan, tetapi menurut adat perlu juga memakai upacara midodareni. Kata midodareni bersal dari bahasa Jawa widodari yang berarti bidadari. Di sini terkandung makna bahwa pada malam midodareni para bidadari turun dari surga untuk memberi restu pada pengantin bekakak.

Tahap upacara ini berlangsung pada malam hari (kamis malam) dimulai � jam 20.00. dua buah jali berisi pengantin bekakak dan sebuah jodhang berisi sesaji disertai sepasang suami istri gendruwo dan wewe, semua diberangkatkan ke balai desa Ambarketawang dengan arak-arakan. Adapun urutan barisan arakan dari tempat persiapan ke balai desa Ambarketawang sebagai berikut :
- barisan pembawa umbul-umbul
- barisan peleton pengawal dari Gamping tengah
- joli pengantin dan jodhang
- reyog dari Gamping kidul
- pengiring yang lain

Kemudian semua jali dan lain-lain diserahkan kepada Bapak kepala Desa Ambarketawang. Pada malam midodareni itu, diadakan malam tirakatan seperti hanya pengantin benar-benar, bertempat di pendhopo ataupun diadakan pertunjukan hiburan wayang kulit, uyon-uyon, reyog. Di rumah Ki Juru Permono diadakan pula tahlilan yang dilaksanakan oleh bapak-bapak dari kemusuk kemudian dilanjutkan dengan malam tirakatan yang diikuti oleh penduduk sekitar. Di pesanggrahan Ambarketawang juga diadakan tirakatan.

Kirab Pengantin Bekakak: Tahap �kirab� pengantin bekakak ini merupakan pawai atau arak-arakan yang membawa jali pengantin bekakak ke tempat penyembelihan. Bersama dengan ini diarak pula rangkaian sesaji sugengan Ageng yang dibawa dari Patran ke pesanggrahan. Juga diarak ke balai desa terlebih dahulu.

Adapun urut-urutan arakan/ pawai upacara tradisional saparan bekakak sebagai berikut :
- reyog dan jathilan dari Patran
- sesaji sugengan Ageng
- barisan prajurit dari Gamping tengah membawa umbul-umbul memakai celana hitam kagok, berkain, baju lurik, destalan, seperti prajurit Daeng. Mereka membawa seruling, genderang dan mung-mung.
- prajurit putri membawa perisai, pedang, mengenakan baju berwarna-warni, celana panjang cinde dan berkain loreng.
- rombongan Demang dan kawan-kawan. Demang tersebut mengenakan kain, baju beskap hitam, memakai selempang kuning.
- jagabaya berkain, baju beskap hitam, memakai serempang merah.
- kaum atau rois, mengenakan kain berbaju surjan memakai serempang putih.
- pembawa tombak berbungkus cindhe beruntaikan bunga melati, mereka mengenakan celana hitam kagok, baju lurik, iket wulung, berselempang cindhe. Tiga pemudi mengenakan kain lurik ungu, baju hijau, memakai selempang merah, masing-masing membawa tiruan landak, gemak, merpati.
- barisan pembawa tombak, memakai celana merah, baju lurik merah, iket berwarna merah jingga.
- peserta bapak-bapak yang berkain berbaju surjan seragam warna merah, memakai sampur berwarna-warni.
- prajurit anak-anak, laki-laki perempuan membawa jemparing (panah).
- joli sesaji (jodhang) yang dibawa oleh petugas memakai seragam hitam kagok, baju merah iket biru.
- barisan selawatan
- joli bekakak Gunung Kliling.
- barisan yang membawa kembang mayang, cengkir, bendhe, tombak, dan luwuk semua dipayungi.
- barisan berkuda
- barisan pembawa panji-panji berwarna-warni yang mengenakan kain, baju surjan biru muda dan iket hitam.
- tiga pemudi membawa banyak dhalang, sawung galing, ardawalika
- tiga orang pemuda membawa padupaan dan bunga-bunga diikuti pembawa alat musik genderang, seruling dan mung-mung.
- prajurit Gamping Lor, diikuti prajurit, putri yang membawa panah, disusul lagi mereka yang membawa pedang panjang.
- jali sesaji (jodhang) yang dibawa oleh petugas memakai seragam celana hitam kagok, baju merah iket biru.
- jathilan dari patran
- prajurit Gamping Kidul, ada yang memakai topeng buron wana (landhak, kerbau, garuda) ada yang membawa tombak bertrisula, tombak biasa.
- reyog Gunung Kidul (seperti badhak merak)
- kemudian upacara tradisional itu berangkat dari balai desa menuju kearah bekas gung Ambarketawang, tempat penyembelihan pertama, kemudian ke tempat penyembelihan kedua yaitu di Gunung Kliling.

Nyembelih Pengantin Bekakak. Apabila arak-arakan telah tiba di Gunung Ambarketawang, maka joli pertama yang berisi sepasang pengantin bekakak, diusung ke arah mulut gua. Kemudian ulama (kaum) memberi syarat agar berhenti dan memanjat doa.

Selesai pembacaan doa, boneka ketan sepasang pengantin itu disembelih dan dipotong-potong dibagikan kepada para pengunjung demikian pula sesaji yang lain. Arak-arakan kemudia dilanjutkan menuju Gunung Kliling untuk mengadakan upacara penyembelihan pengantin bekakak yang kedua dan pembagian potongan bekakak yang kedua kepada para pengunjung.

Adapun jodhang yang berisi sajen selamatan dibagikan kepada petugas di tempat penyembelihan terakhir.

Sugengan Ageng. Sugengan Ageng yang dilaksanakan di Pesanggrahan Ambarketawang ini dipimpin oleh Ki Juru Permana pada hari tersebut. Pesanggrahan telah dihiasi janur (tarub) dan sekelilingnya diberi hiasan kain berwarna hijau dan kuning. Sesaji Sugengan Ageng yang dibawa dari patran, berujud jodhang, jali kembang mayang, kelapa gadhing (cengkir), air amerta, bokor tempat sibar-sibar, pusaka-pusaka, dan payung agung telah diatur dengan rapi di tempat masing-masing.

Upacara ini dilaksanakan di Gunung Kliling selesai. Pertama-tama pembakaran kemenyan, lalu dilanjutkan oleh Ki Juru Permana membuka upacara tadi dengan mengikrarkan adanya Sugengan Ageng tersebut, dilanjutkan pembacaan doa dalam bahasa Arab. Setelah selesai maka dilepaskannya sepasang burung merpati putih oleh Ki Juru permana. Pelepasan burung merpati ini disertai tepuk tangan para hadirin yang menyaksikannya. Kemudian dilakukan pembagian sesaji Sugengan Ageng yang berada dalam joli rahmat Allah kepada semua yang hadir, terutama makanan tawonan kegemaran Sultan Hamengku Buwana I. Dengan selesainya pembagian sesaji yang dilaksanakan, di pesanggrahan Ambarketawang.

SEJARAH PBB

Pada tanggal 24 Oktober 1945, Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) secara resmi didirikan untuk menggantikan Liga Bangsa-Bangsa. Para wakil dari negara-negara Sekutu pada Perang Dunia Kedua, yaitu AS, Soviet, Inggris, dan Perancis, dalam perundingan-perundingan selama perang tersebut telah memulai persiapan pendirian PBB ini. Akhirnya, dalam konfrensi di San Fransisko, Amerika, para wakil dari 50 negara-negara dunia menandatangani piagam pembentukan PBB.

PBB bermarkas tetap di New York. Tujuan utama didirikannya PBB, seperti yang disinggung dalam piagam PBB, adalah untuk menjaga perdamaian di dunia, mengembangkan hubungan persahabatan antar bangsa, memupuk kerjasama internasional untuk menyelesaikan berbagai masalah ekonomi, sosial, dan budaya, serta mengembangkan penghormatan atas Hak Asasi Manusia dan kebebasan.

Tak dapat disangkal bahwa PBB telah melakukan banyak hal yang patut dipuji. Namun, adanya hak veto untuk lima negara anggota tetap Dewan Keamanan, yaitu AS, Rusia, Inggris, Prancis dan China, telah membuat kebijakan Dewan Keamanan sebagai salah satu badan utama PBB, selalu mengikuti langkah kelima negara tersebut, khususnya AS. Sebaliknya, Majlis Umum yang menjadi forum seluruh anggota PBB justeru tidak memiliki kekuatan yang berarti dibanding dengan Dewan Keamanan. Ketidakadilan inilah yang telah menghambat keberhasilan PBB dalam mengemban misinya, dan bahkan telah melahirkan protes dari banyak negara anggotanya.

Piagam PBB adalah konstitusi PBB. Ia ditanda tangani di San Francisco pada tanggal 26 Juni 1945 oleh kelima puluh anggota asli PBB. Piagam ini mulai berlaku pada 24 Oktober 1945 setelah ditandatangani oleh lima anggota pendirinya-Republik China (Taiwan), Perancis, Uni Soviet, Britania Raya, Amerika Serikat -dan mayoritas penanda tangan lainnya. Sebagai sebuah Piagam ia adalah sebuah perjanjian konstituen, dan seluruh penanda tangan terikat dengan isinya. Selain itu,

Piagam tersebut juga secara eksplisit menyatakan bahwa Piagam PBB mempunyai kuasa melebihi seluruh perjanjian lainnya. Ia diratifikasi oleh AS pada 8 Agustus 1945, yang membuatnya menjadi negara pertama yang bergabung dengan PBB.
materi referensi:
www.e-smartschool.com
www.un.org/aboutun/charte