Jumat, 13 Maret 2009

Grebeg Kraton Jogja

Sejarah
Sejarah grebeg tidak dapat dilepaskan dengan sejarah Wali Sanga. Salah satu metode penyebaran agama islam pada waktu itu adalah dengan pendekatan budaya. Metode ini dipakai karena pada saat itu budaya dan seni bekembang dengan baik. Melalui metode ini, islam disebarkan dengan memasukan berbagai ajaran islam dengan asimilasi dan akulturasi. salah satu wali yang sangat berpengaruh saat itu yaitu Sunan Kalijaga. Wali ini menyebarkan islam dengan cara mengumpulkan masyarakat dan membunyikan gamelan yang ditaruh di halaman Masjid Besar.

Gunungan Grebeg

Setelah masyarakat berduyun-duyun menontonnya, Sunan Kalijaga berdakwah untuk mengemukakan keutamaan ajaran agama Islam. Di sinilah lantas muncul istilah sekaten. Sekaten berasal dari bahasa Arab Syahadatain yang mengandung dua makna kalimat. Pertama, bersaksi bahwa tak ada Tuhan yang wajib disembah kecuali Allah. Kedua, bersaksi bahwa Nabi Muhammad SAW adalah utusan Allah. Karena susah mengucapkan, akhirnya kata itu menjadi sekaten. Tradisi penyelenggaraan perayaan sekaten itu lantas berlanjut pada masa Kerajaan Mataram pertama di bawah pemerintahan Panembahan Senopati. Dan kini sekaten menjadi suatu tradisi di Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Hal tersebut sesuai dengan salah satu kewajiban seorang Sultan yaitu Sayidin Panata Gama, yaitu pemimpin agama yang berkewajiban menyebarkan agama islam.Gamelan yang dibunyikan untuk menarik perhatian itu, dalam perayaan sekaten di Yogyakarta ada dua perangkat, yakni Kanjeng Kiai Gunturmadu dan Kangjeng Kiai Nogowilogo. Dua perangkat gamelan itu berada di halaman Masjid Gede Kraton Yogyakarta. Kedua gamelan ini ditarik kembali ke kraton ketika malam sebelum upacara grebeg dimulai pada keesokan harinya.

Komunikasi Raja-Rakyat (Manunggaling Kawulo -Gusti)

Prosesi rebutan gunungan atau yang dikenal sebagai grebeg ini diawali dengan arak-arakan prajurit kraton mengelilingi Kraton Yogyakarta. Setelah itu, barulah gunungan dikeluarkan untuk dibawa ke Masjid Gede yang terletak di alun-alun utara. Prosesi iring-iringan ini didahului oleh prajurit Bugis yang lantas disusul para abdi dalem sipat bupati, dan baru Kagungan Dalem Pareden (gunungan) yang terdiri dari enam gunungan. Keenam gunungan itu meliputi 2 buah gunungan lanang, 1 gunungan wadon, 1 gunungan gepak, 1 gunungan darat, serta 1 gunungan pawuhan. Semua gunungan itu dipenuhi oleh hasil pertanian seperti kacang panjang dan jagung. Dalam prosesi arak-arakan ini salah satu gunungan lanang dibawa menuju Paku Alaman dan kemudian dibawa ke lapangan Sewandanan untuk diperebutkan pula. Ketika dibawa ke Paku Alaman, gunungan lanang ini dikawal lima ekor gajah. Rebutan gunungan atau upacara grebeg ini diartikan merupakan simbol komunikasi kultural antara raja dan rakyatnya. Bahwa raja bisa sangat dekat dan memperhatikan rakyatnya (kawulo-nya). Ini ditandai dengan sang raja memberikan sejumlah hasil pertanian untuk rakyatnya. Sebetulnya, dalam tradisi perayaan sekaten ini tak hanya gunungan dan udhik-udhik yang sarat dengan berkah. Namun muncul pula ndok abang (telur yang diwarnai merah) serta kinang. Telur merah ini dipercaya sebagai penolak bala, sedangkan kinang jika dikunyah pas ketika gamelan berbunyi, dipercaya mampu membuat orang awet muda.

Grebeg di Kraton Yogyakarta dilaksanakan selama 1 tahun jawa menjadi tiga yaitu: Grebeg Mulud pada 12 Mulud bertepatan dengan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, Grebeg Syawal yang diselenggarakan pada tanggal 1 bulan Syawal sebagai ungkapan terima kasih masyarakat kepada Tuhan, dengan telah berhasil diselesaikannya ibadah puasa selama satu bulan penuh dibulan Suci Ramadhan, dan Grebeg Besar yang diselenggarakan pada tanggal 10 bulan Besar, berkaitan dengan peringatan Hari Raya Qurban - Idhul Adha. (nug: dari berbagaiu sumber)

Tidak ada komentar: